Sabtu, 12 April 2014


Hakikat Manusia Dari Segi Sosiologis


Konsep manusia dalam Sosiologi belum sepenuhnya melihat manusia sebagai suatu makhluk yang utuh dan mandiri. Menurut Bapak ahli Sosiologi modern,  Agus Comte. Pandangan beliau banyak dipengaruhi oleh Louis de Bonald, Seorang filsuf Perancis yang lahir pada tahun 1875. Comte berpendapat bahwa masyarakatlah yang menentukan individu. Baginya Manusia itu ada untuk masyarakat dan masyarakatlah yang menentukan segala-galanya. Comte melihat bahwa manusia adalah non rational.
Oleh karena itu menurutnya “Individual Liberty”  justru akan menimbulkan bahaya bagi keutuhan masyarakat itu sendiri. Demikian juga dalam masyarakat, tak seorangpun dapat berpendapat lain dari pada apa yang telah diputuskan oleh golongan tertinggi masyarakat itu, yaitu “The Intellectual Scientific Religious Group.” Ini berarti bahwa manusia adalah hanya suatu bagian dari masyarakat. Ia hidup dalam masyarakat tetapi ia tidak dapat mengarahkan masyarakat sesuai dengan keinginannya. Dalam pendidikan manusia diibaratkan suatu benda kosong dan adalah tugas masyarakat untuk mengisinya dengan norma-norma atau nilai-nilai yang dapat membuat masyarakat ini berbuat secara lebih terarah dalam artian tidak menggangu sistem. Oleh karena itu Sosialisasi dalam kehidupan manusia dipandang sangat penting.
Bagi Indonesia, konsep manusia yang diberikan oleh Comte sulit untuk diterima, karena konsep tersebut terlalu memberikan porsi yang besar pada masyarakat, sedangkan individu tidak diberi kesempatan untuk aktif melakukan kegiatan kemasyarakatan. Pemerintah Indonesia bertujuan membentuk manusia seutuhnya, artinya melihat manusia tidak hanya sekedar menerima nilai-nilai masyarakat saja, tetapi ia juga dapat menciptakan nilai-nilai baru dan menyampaikannya pada masyarakat. Oleh karena itu partsipasi seluruh rakyat dalam proses pembangunan adalah sangat penting dan diperlukan.
Ki Hajar Dewantara merupakan tokoh yang termasuk aliran filsafat pendidikan yang menganut definisi pendidikan apabila dilihat dari sudut aliran fisafat pendidikan evolusionistis yang lebih menekankan tangga-tangga psikologis perkembangan manusia. Suatu konsep pendidikan yang lebih mengarahkan orientasinya pada aspek-aspek kehidupan modern yang kompleks dan rumit kaitannya, yang lebih individualisis sehingga menuntut kemampuan individual masing-masing pribadi dalam mengadakan penyesuaian kehidupan psikologisnya. Konsep tentang antropologi filsafat apabila tidak dirumuskan dalam definisi pendidikan dapat dicari pada rumusan tujuan pendidikannya.
Sebagai contoh dalam sejarah pemikiran filsafat pendidikan Indonesia, kita dikenalkan dengan salah satu rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: Membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab atas kesahjeteraan warga Negara dan tanah air. Dalam rumusan ini hakekat manusia dalam sebagai suatua aspek bernilai martabat yang sama, sehingga yang satu tidak boleh menghisap yang lain, artinya manusia dihisap warga Negara sehingga mengarah keterhisapnya kepentingan individu demi kepentingan dan kejayaan Negara, dan sebaliknya hilangnya aspek warga Negara dan mengarah ke individualisme yang otomatis. Suatu ilustrasi tujuan pendidikan yang mengarah ke penghisapan individualitas manusia ke dalam konsep warga Negara adalah definisi pendidkan di bawah ini: Pendidikan adalah kegiatan atau proses yang mana individual loyal dibina agar setia tanpa syarat dan penyesuaian membuka pada kelompok.
Seperti halnya pendapat yang umumnya dikenal dalam pendidkan Barat mengenai mungkin tidaknya manusia dididik yang telah lama menjadi bahan yang dikaji oleh para ahli didik Barat, yaitu sejak zaman Yunani Kuno, terngakum dalam tiga aliran filsafatpendidkan. Aliran-aliran tersebut adalah nativisme, empirisme dan kovergensi. Menurut nativisme, manusia tak perlu dididik sebab perkembangan manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran ini memandang pendidikan berperan penting dan sangat menentukan arah perkembangan manusia (Jalaluddin dan Ali Ahmad Zen, 1996:52). Adapun aliran ketiga, yaitu kovergensi merupakan perpaduan antara kedua pendapat tersebut. Menurut mereka memang manusia memiliki kemampuan dalam dirinya (bakat/potensi), tetapi potensi itu hanya dapat berkembang jika hanya ada pengarahan pembinaan serta bimbingan dari luar (lingkungan). Harus ada perpaduan antara faktor dasar (potensi dan bakat) dan ajar (bimbingan).
Perkembangan seorang manusia tidak hanya ditentukan oleh kemampuan potensi/bakat yang dibawanya. Tanpa ada intervensi dari luar (lingkungan) bakat/potensi seseorang tidak mungkin berkembang dengan baik. Lebih jauh Kohnstam menambahnya dengan kemauan. Dengan demikian menurutnya, kemampuan dengan seseorang akan berjalan dengan baik dan dapat dikembangkan secara maksimal, apabila ada perpaduan antara faktor dasar (potensi), faktor ajar (bimbingan) serta kesadaran dari individu itu sendiri untuk mengembangkan dirinya. Jadi disamping faktor potensi bawaan dan bimbingan dari lingkungan, untuk mengembangkan diri dari seseorang perlu didorong motivasi intrinsik (dorongan dari dalam dirinya).
Dalam TAP MPR No.IV / 1992 pula ditegaskan bahwa manusia adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi ia tidak dapat hidup wajar kecuali dengan hidup bersama-sama dengan sesamanya untuk menjadi pribadi yang utuh manusia harus menjadi dirinya sendiri yang mantap dan serasi dalam hubungannya dengan pribadi, alam semesta dan dengan Tuhan.
Pada intinya adalah manusia dalam hakekat sosiologi sangatlah perlu diperhatikan dalam pendidikan karena manusia tidak bisa hidup sendiri dan perlu untuk bersosialisasi. Kemudian manusia tidak hanya sekedar menerima nilai-nilai masyarakat saja, tetapi ia juga dapat menciptakan nilai-nilai baru dan menyampaikannya pada masyarakat.






Daftar Pustaka 


Melianie, S.M, Dra, M. Pd. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.


0 komentar :

Posting Komentar