Little Suzanne
Suzanne adalah
saudaraku. Ia berbeda dari yang lainnya. Aku tak tak tahu mengapa ia begitu
istimewa. Aku? Kalian bisa memanggilku Grance. Aku harus terus melindunginya,
begitu yang dikatakan orang tuaku. Awalnya aku tak mengerti mengapa mereka
mengatakannya tanpa memberi alasan yang pasti, hanya meninggalkan tanda tanya.
Namun kini aku mengerti setelah mereka telah tiada dan aku tetap akan melanjutkan
permintaan terakhir mereka. Menjaga Suzanne.
Dulu memang
mudah melakukannya karena aku dan adikku masih kecil. Saat itu kami tinggal di
asrama gereja St. Ursula. Kami yatim piatu, disitulah tempat bernaung terakhir
kami. Tapi kini ia telah beranjak dewasa. Ia terus saja mendesakku dengan
berbagai pertanyaan yang belum bisa aku jelaskan hingga tiba waktunya nanti.
Namun ia tak pernah mau mengerti. Ia akan marah jika aku tak bergeming. Dan itu
yang sangat aku takutkan. Ia akan menjadi sosok yang sangat menyeramkan. Sosok
yang tak ingin terjadi dan dihindari oleh orang tuaku.
“Sudahlah kak. Aku hanya ingin
bebas seperti anak-anak lainnya. Apa itu salah? Apa permintaanku terlalu
berlebihan, hah?” teriaknya.
“Kamu tak memgerti, Sue. Kamu
berbeda.” jelasku.
“Berbeda apa, kak? Aku tak
mengerti karna kakak tak pernah memberi alasannya padaku!”
“Belum saatnya.”
“Kapan?”
Aku hanya bisa
diam. Ia pun marah. Kini berbeda dari biasanya. Ia menunjukkan gejala yang
aneh. Ekor mulai muncul satu persatu belakang tubuhnya. Telinganya terus
memanjang. Kulitnya yang putih mulus kini berubah menjadi berwarna merah membara.
Matanya menghitam dan membesar. Gigi-giginya serta semua kuku jari dan
tangannya memanjang. Mulutnya terus mengeluarkan aroma yang tak sedap. Badannya
terus membesar hingga 50 kali lipat sehingga menghancurkan apapun yang ada
disekitarnya. Disekujur tubuhnya mengeluarkan bara api yang terus berkobar. Ia
menatapku tajam. Seakan ingin menerkamku. Aku terkejut. Inikah wujud yang
dikawatirkan oleh orang tuaku? Begitu menyeramkan.
Sanggupkah aku
menghentikannya? Harus. Aku harus bisa menghentikannya. Meski itu harus
mengorbankan nyawaku. Aku mengeluarkan benda terakhir yang diberikan oleh orang
tuaku sebelum mereka menutup mata. Benda itu ternyata senjata. Aku kaget. ‘Ini
adalah Voch.Senjata ini merupakan alat pertahanan sekaligus perlawanan jika
sudah tiba waktunya’ begitu yang dikatakan oleh orang tuaku. Senjata itu
seperti samurai, berwarna biru neon dan selalu diselimuti kabut tipis.
Ia menyerangku
dengan cakar-cakarnya. Aku terjatuh sejauh 4 meter. Belum sempat aku berdiri
kembali namun Suzanne telah melangkah maju kearahku. Ia menendangku hingga aku
terpental tersungkur diantara semak-semak. Ia kembali mendekat. Tiba-tiba ia
mengangkat tubuhku dengan cengkeraman tangannya. Aku tepat berhadapan dengan
wajahnya. Saat ia bersiap mengeluarkan api dari mulunya ke wajahku aku
menangkisnya dengan Voch-ku sehingga appi itu berbali mengenai wajahnya. Ia
mengeram kesakitan. Aku terlepas dari genggamannya.
Untuk sementara
aku bersembunyi dibalik pepohonan sembari memulihkan tenaga dan luka-luka
tubuhku akibat pertempuran sengit tadi. Tak lama ia segera mencariku. Berteriak
memanggil namaku. Suaranya menggelegar. Aku tetap bersembunyi. Ia geram karena
tak kunjung menemukanku. Ia melampiaskan kemarahannya dengan menghancurkan
apapun yang ada disekelilngnya.
Untunglah kini
kami berada di hutan yang jaraknya cukup jauh dengan gereja kami sehingga tidak
ada korban jiwa . Aku menyerangnya secara tiba-tiba dari belakang. Tubuhnya
terluka parah. Ia berbalik arah mencari arah sosok yang menyerangnya. Kini ia
dihadapanku. Ia menatapku tajam. Tak lama ia menyerangku dengan pukulan
tangannya yang besar. Aku kembali menangkisnya dengan Voch. Pertarunagan itu
berlangsung terus-menerus tanpa henti.
Aku terluka
parah. Saat itu Suzanne langsung menyerangku yang tak mampu lagi untuk bangkit.
Ia akan segera mencabik-cabik tubuhku. Entah apa yang ada dipikiranku sehingga
aku langsung mengarahkan Voch ke dadanya. Namun seranganku meleset. Voch hanya
mengenai tangannya. Ia semakin marah. Aku tahu dari tatapannya ia akan
membunuhku.
Ia mengambil
Voch yang terjatuh dari tanganku. Kemudian ia memungut Voch itu dan menyerangku
dengan senjataku sendiri. Ia melempar Voch ke arahku. Voch menancap tepat di
jantungku. Ia tertawa bahagia melihatku sekarat. Dengan terbata aku berusaha
megatakan kata-kata terakhirku padanya.
“Lihat. Inilah yang aku sangat
khawatirkan. Kau akan berubah menjadi sosok mengerikan yang akan menghancurkan
orang-orang sekelilingmu juga dirimu sendiri dan kau tak tahu itu.”
Perlahan ia mulai
tersadar dari segala amarahnya. Tatap mata yang awalnya tajam bagai elang kini
berubah sendu. Tubuhnya perlahan kembali ke bentuk semula. Bara api yang selalu
menyelimuti tubuhnya kini telah menghilang. Ia telah berubah ke bentuk semula,
manusia. Aku? Kondisiku semakin parah. Aku sudah tidak bisa menggerakkan
anggota tubuhku lagi. Suasana terasa hening. Semua menjadi gelap. Hanya dingin
yang menusuk kurasakan. Darah terus keluar dari luka-luka pertarungan tadi.
“Maafkan aku, kak. Oh Tuhan. Apa
yang telah ku perbuat?” Suzanne menangis
tersedu-sedu.
“Su-suzanne. Tetaplah hidup
de-demi kakak dan o-orang tua ki-i-ta. Kami a-akan slalu menjagamu me-meski tak
lagi di-disampingmu.”
Perlahan dunia
semakin dingin. Sepi. Aku tak mampu lagi bertahan. Hanya tangis Suzanne ku
dengar yang perlahan mulai menghilang bersama kesunyian. Aku berharap Tuhan
akan menjaga Suzanne. Melindunginya sehingga ia tumbuh menjadi seseorang yang
mengerti arti kehidupan dan takkan menjadi makhluk menakutkan bagi semua orang,
namun dapat melindungi mereka serta dirinya
sendiri.
0 komentar :
Posting Komentar