Selasa, 08 April 2014

Little Suzanne


Little Suzanne


 

Suzanne adalah saudaraku. Ia berbeda dari yang lainnya. Aku tak tak tahu mengapa ia begitu istimewa. Aku? Kalian bisa memanggilku Grance. Aku harus terus melindunginya, begitu yang dikatakan orang tuaku. Awalnya aku tak mengerti mengapa mereka mengatakannya tanpa memberi alasan yang pasti, hanya meninggalkan tanda tanya. Namun kini aku mengerti setelah mereka telah tiada dan aku tetap akan melanjutkan permintaan terakhir mereka. Menjaga Suzanne.
Dulu memang mudah melakukannya karena aku dan adikku masih kecil. Saat itu kami tinggal di asrama gereja St. Ursula. Kami yatim piatu, disitulah tempat bernaung terakhir kami. Tapi kini ia telah beranjak dewasa. Ia terus saja mendesakku dengan berbagai pertanyaan yang belum bisa aku jelaskan hingga tiba waktunya nanti. Namun ia tak pernah mau mengerti. Ia akan marah jika aku tak bergeming. Dan itu yang sangat aku takutkan. Ia akan menjadi sosok yang sangat menyeramkan. Sosok yang tak ingin terjadi dan dihindari oleh orang tuaku.
“Sudahlah kak. Aku hanya ingin bebas seperti anak-anak lainnya. Apa itu salah? Apa permintaanku terlalu berlebihan, hah?” teriaknya.
“Kamu tak memgerti, Sue. Kamu berbeda.” jelasku.
“Berbeda apa, kak? Aku tak mengerti karna kakak tak pernah memberi alasannya padaku!”
“Belum saatnya.”
“Kapan?”
Aku hanya bisa diam. Ia pun marah. Kini berbeda dari biasanya. Ia menunjukkan gejala yang aneh. Ekor mulai muncul satu persatu belakang tubuhnya. Telinganya terus memanjang. Kulitnya yang putih mulus kini berubah menjadi berwarna merah membara. Matanya menghitam dan membesar. Gigi-giginya serta semua kuku jari dan tangannya memanjang. Mulutnya terus mengeluarkan aroma yang tak sedap. Badannya terus membesar hingga 50 kali lipat sehingga menghancurkan apapun yang ada disekitarnya. Disekujur tubuhnya mengeluarkan bara api yang terus berkobar. Ia menatapku tajam. Seakan ingin menerkamku. Aku terkejut. Inikah wujud yang dikawatirkan oleh orang tuaku? Begitu menyeramkan.
Sanggupkah aku menghentikannya? Harus. Aku harus bisa menghentikannya. Meski itu harus mengorbankan nyawaku. Aku mengeluarkan benda terakhir yang diberikan oleh orang tuaku sebelum mereka menutup mata. Benda itu ternyata senjata. Aku kaget. ‘Ini adalah Voch.Senjata ini merupakan alat pertahanan sekaligus perlawanan jika sudah tiba waktunya’ begitu yang dikatakan oleh orang tuaku. Senjata itu seperti samurai, berwarna biru neon dan selalu diselimuti kabut tipis.
Ia menyerangku dengan cakar-cakarnya. Aku terjatuh  sejauh 4 meter. Belum sempat aku berdiri kembali namun Suzanne telah melangkah maju kearahku. Ia menendangku hingga aku terpental tersungkur diantara semak-semak. Ia kembali mendekat. Tiba-tiba ia mengangkat tubuhku dengan cengkeraman tangannya. Aku tepat berhadapan dengan wajahnya. Saat ia bersiap mengeluarkan api dari mulunya ke wajahku aku menangkisnya dengan Voch-ku sehingga appi itu berbali mengenai wajahnya. Ia mengeram kesakitan. Aku terlepas dari genggamannya.
Untuk sementara aku bersembunyi dibalik pepohonan sembari memulihkan tenaga dan luka-luka tubuhku akibat pertempuran sengit tadi. Tak lama ia segera mencariku. Berteriak memanggil namaku. Suaranya menggelegar. Aku tetap bersembunyi. Ia geram karena tak kunjung menemukanku. Ia melampiaskan kemarahannya dengan menghancurkan apapun yang ada disekelilngnya.
Untunglah kini kami berada di hutan yang jaraknya cukup jauh dengan gereja kami sehingga tidak ada korban jiwa . Aku menyerangnya secara tiba-tiba dari belakang. Tubuhnya terluka parah. Ia berbalik arah mencari arah sosok yang menyerangnya. Kini ia dihadapanku. Ia menatapku tajam. Tak lama ia menyerangku dengan pukulan tangannya yang besar. Aku kembali menangkisnya dengan Voch. Pertarunagan itu berlangsung terus-menerus tanpa henti.
Aku terluka parah. Saat itu Suzanne langsung menyerangku yang tak mampu lagi untuk bangkit. Ia akan segera mencabik-cabik tubuhku. Entah apa yang ada dipikiranku sehingga aku langsung mengarahkan Voch ke dadanya. Namun seranganku meleset. Voch hanya mengenai tangannya. Ia semakin marah. Aku tahu dari tatapannya ia akan membunuhku.
Ia mengambil Voch yang terjatuh dari tanganku. Kemudian ia memungut Voch itu dan menyerangku dengan senjataku sendiri. Ia melempar Voch ke arahku. Voch menancap tepat di jantungku. Ia tertawa bahagia melihatku sekarat. Dengan terbata aku berusaha megatakan kata-kata terakhirku padanya.
“Lihat. Inilah yang aku sangat khawatirkan. Kau akan berubah menjadi sosok mengerikan yang akan menghancurkan orang-orang sekelilingmu juga dirimu sendiri dan kau tak tahu itu.”
Perlahan ia mulai tersadar dari segala amarahnya. Tatap mata yang awalnya tajam bagai elang kini berubah sendu. Tubuhnya perlahan kembali ke bentuk semula. Bara api yang selalu menyelimuti tubuhnya kini telah menghilang. Ia telah berubah ke bentuk semula, manusia. Aku? Kondisiku semakin parah. Aku sudah tidak bisa menggerakkan anggota tubuhku lagi. Suasana terasa hening. Semua menjadi gelap. Hanya dingin yang menusuk kurasakan. Darah terus keluar dari luka-luka pertarungan tadi.
“Maafkan aku, kak. Oh Tuhan. Apa yang telah ku perbuat?”  Suzanne menangis tersedu-sedu.
“Su-suzanne. Tetaplah hidup de-demi kakak dan o-orang tua ki-i-ta. Kami a-akan slalu menjagamu me-meski tak lagi di-disampingmu.”
Perlahan dunia semakin dingin. Sepi. Aku tak mampu lagi bertahan. Hanya tangis Suzanne ku dengar yang perlahan mulai menghilang bersama kesunyian. Aku berharap Tuhan akan menjaga Suzanne. Melindunginya sehingga ia tumbuh menjadi seseorang yang mengerti arti kehidupan dan takkan menjadi makhluk menakutkan bagi semua orang, namun dapat melindungi mereka serta  dirinya sendiri.

0 komentar :

Posting Komentar