Hakikat Manusia Dari
Segi Sosiologis
Konsep
manusia dalam Sosiologi belum sepenuhnya melihat manusia sebagai suatu makhluk
yang utuh dan mandiri. Menurut Bapak ahli Sosiologi modern, Agus Comte.
Pandangan beliau banyak dipengaruhi oleh Louis de Bonald, Seorang filsuf
Perancis yang lahir pada tahun 1875. Comte berpendapat bahwa masyarakatlah yang
menentukan individu. Baginya Manusia itu ada untuk masyarakat dan masyarakatlah
yang menentukan segala-galanya. Comte melihat bahwa manusia adalah non rational.
Oleh
karena itu menurutnya “Individual Liberty” justru
akan menimbulkan bahaya bagi keutuhan masyarakat itu sendiri. Demikian juga
dalam masyarakat, tak seorangpun dapat berpendapat lain dari pada apa yang
telah diputuskan oleh golongan tertinggi masyarakat itu, yaitu “The
Intellectual Scientific Religious Group.” Ini
berarti bahwa manusia adalah hanya suatu bagian dari masyarakat. Ia hidup dalam
masyarakat tetapi ia tidak dapat mengarahkan masyarakat sesuai dengan
keinginannya. Dalam pendidikan manusia diibaratkan suatu benda kosong dan
adalah tugas masyarakat untuk mengisinya dengan norma-norma atau nilai-nilai
yang dapat membuat masyarakat ini berbuat secara lebih terarah dalam artian
tidak menggangu sistem. Oleh karena itu
Sosialisasi dalam kehidupan manusia dipandang sangat penting.
Bagi
Indonesia, konsep manusia yang diberikan oleh Comte sulit untuk diterima,
karena konsep tersebut terlalu memberikan porsi yang besar pada masyarakat,
sedangkan individu tidak diberi kesempatan untuk aktif melakukan kegiatan
kemasyarakatan. Pemerintah Indonesia bertujuan membentuk manusia seutuhnya,
artinya melihat manusia tidak hanya sekedar menerima nilai-nilai masyarakat
saja, tetapi ia juga dapat menciptakan nilai-nilai baru dan menyampaikannya
pada masyarakat. Oleh karena itu partsipasi seluruh rakyat dalam proses
pembangunan adalah sangat penting dan diperlukan.
Ki
Hajar Dewantara merupakan tokoh yang termasuk aliran filsafat pendidikan yang
menganut definisi pendidikan apabila dilihat dari sudut aliran fisafat pendidikan
evolusionistis yang lebih menekankan tangga-tangga psikologis perkembangan
manusia. Suatu konsep pendidikan yang lebih mengarahkan orientasinya pada
aspek-aspek kehidupan modern yang kompleks dan rumit kaitannya, yang lebih
individualisis sehingga menuntut kemampuan individual masing-masing pribadi
dalam mengadakan penyesuaian kehidupan psikologisnya. Konsep tentang
antropologi filsafat apabila tidak dirumuskan dalam definisi pendidikan dapat
dicari pada rumusan tujuan pendidikannya.
Sebagai
contoh dalam sejarah pemikiran filsafat pendidikan Indonesia, kita dikenalkan
dengan salah satu rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: Membentuk manusia
susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab atas
kesahjeteraan warga Negara dan tanah air. Dalam rumusan ini hakekat manusia
dalam sebagai suatua aspek bernilai martabat yang sama, sehingga yang satu
tidak boleh menghisap yang lain, artinya manusia dihisap warga Negara sehingga
mengarah keterhisapnya kepentingan individu demi kepentingan dan kejayaan
Negara, dan sebaliknya hilangnya aspek warga Negara dan mengarah ke
individualisme yang otomatis. Suatu ilustrasi tujuan pendidikan yang mengarah
ke penghisapan individualitas manusia ke dalam konsep warga Negara adalah
definisi pendidkan di bawah ini: Pendidikan adalah kegiatan atau proses yang
mana individual loyal dibina agar setia tanpa syarat dan penyesuaian membuka
pada kelompok.
Seperti
halnya pendapat yang umumnya dikenal dalam pendidkan Barat mengenai mungkin
tidaknya manusia dididik yang telah lama menjadi bahan yang dikaji oleh para
ahli didik Barat, yaitu sejak zaman Yunani Kuno, terngakum dalam tiga aliran
filsafatpendidkan. Aliran-aliran tersebut adalah nativisme, empirisme dan
kovergensi. Menurut nativisme, manusia tak perlu dididik sebab perkembangan
manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran ini
memandang pendidikan berperan penting dan sangat menentukan arah perkembangan
manusia (Jalaluddin dan Ali Ahmad Zen, 1996:52). Adapun aliran ketiga, yaitu
kovergensi merupakan perpaduan antara kedua pendapat tersebut. Menurut mereka
memang manusia memiliki kemampuan dalam dirinya (bakat/potensi), tetapi potensi
itu hanya dapat berkembang jika hanya ada pengarahan pembinaan serta bimbingan
dari luar (lingkungan). Harus ada perpaduan antara faktor dasar (potensi dan
bakat) dan ajar (bimbingan).
Perkembangan
seorang manusia tidak hanya ditentukan oleh kemampuan potensi/bakat yang
dibawanya. Tanpa ada intervensi dari luar (lingkungan) bakat/potensi seseorang
tidak mungkin berkembang dengan baik. Lebih jauh Kohnstam menambahnya dengan
kemauan. Dengan demikian menurutnya, kemampuan dengan seseorang akan berjalan
dengan baik dan dapat dikembangkan secara maksimal, apabila ada perpaduan
antara faktor dasar (potensi), faktor ajar (bimbingan) serta kesadaran dari
individu itu sendiri untuk mengembangkan dirinya. Jadi disamping faktor potensi
bawaan dan bimbingan dari lingkungan, untuk mengembangkan diri dari seseorang perlu
didorong motivasi intrinsik (dorongan dari dalam dirinya).
Dalam
TAP MPR No.IV / 1992 pula ditegaskan bahwa manusia adalah makhluk pribadi
sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi
ia tidak dapat hidup wajar kecuali dengan hidup bersama-sama dengan sesamanya
untuk menjadi pribadi yang utuh manusia harus menjadi dirinya sendiri yang
mantap dan serasi dalam hubungannya dengan pribadi, alam semesta dan dengan
Tuhan.
Pada
intinya adalah manusia dalam hakekat sosiologi
sangatlah perlu diperhatikan dalam pendidikan karena manusia tidak bisa hidup
sendiri dan perlu untuk bersosialisasi. Kemudian manusia tidak hanya sekedar
menerima nilai-nilai masyarakat saja, tetapi ia juga dapat menciptakan
nilai-nilai baru dan menyampaikannya pada masyarakat.
Daftar Pustaka
Melianie, S.M, Dra, M. Pd.
2009. Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta : Universitas Negeri
Jakarta.